Perbaikan status kesehatan dan kemajuan teknologi kedokteran akan
meningkatkan usia harapan hidup masyarakat. Peningkatan tersebut akan diiringi
pula peningkatan prevalensi penyakit-penyakit degeneratif. Salah satu penyakt
degeneratif yang mengancam populasi usia lanjut adalah osteoporosis. Pada usia
post menopause, 1 diantara 3 wanita menderita osteoporosis. Pada laki-laki
insidensinya lebih kecil, yaitu 1 diantara 7 laki-laki usia diatas 50 tahun.
Penelitian Departemen Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi
osteoporosis adalah 19,7%. Kelompok kerja World Health Organisation (WHO) mendefinisikan osteoporosis sebagai penyakit yang ditandai dengan rendahnya massa tulang dan memburuknya mikrostruktural jaringan tulang, menyebabkan kerapuhan tulang sehingga meningkatkan risiko terjadinya fraktur (patah tulang). Osteoporosis tidak memberikan keluhan klinis, kecuali apabila telah terjadi fraktur. Kondisi tersebut menyebabkan osteoporosis dijuluki penyakit yang mencuri diam-diam (thief in the night). Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik. Fraktur osteoporosis dapat terjadi pada setiap tempat. Fraktur yang berhubungan dengan osteoporosis paling sering dijumpai pada tulang belakang regio thorakal dan lumbal, radius distal dan femur proksimal. Interaksi antara geometri tulang dan dinamika terjatuh atau kecelakaan (trauma), dan keadaan lingkungan sekitar merupakan faktor penting yang menyebabkan fraktur (patah tulang). Apa hubungan stroke dan osteoporosis? Mengapa terjadi osteoporosis ? Massa tulang yang normal merupakan bentuk keseimbangan antara formasi dan resorbsi tulang. Keseimbangan ini dilaksanakan oleh osteoblas dan osteoklas pada unit remodeling tulang. Remodeling dibutuhkan untuk menjaga kekuatan tulang. Osteoblas bertanggungjawab untuk formasi tulang, dan osteoklas berperan pada resorbsi tulang. Osteoblas dan osteoklas dikendalikan oleh hormon sistemik dan sitokin seperti faktor lokal lain (growth factor, protaglandin dan leukotrien, PTH, kalsitonin, estrogen dan 1,25-dihydrocyvitamin D3 [1,25-(OH)D3]) yang sangat kompleks. Sintesis kolagen tulang diperantarai oleh osteoblas. Defisiensi estrogen (pada menopause) menyebabkan penurunan massa tulang secara signifikan. Defisiensi estrogen dipikirkan mempengaruhi level sirkulasi sitokin spesifik seperti IL-1, tumor necross faktor, koloni granulosit—makrofag stimulating factor dan IL-6. Berbagai sitokin ini meningkatkan resorpsi tulang melalui peningkatan recruitment, diferensiasi dan aktifasi sel osteoklas. Pada beberapa tahun pertama pasca menopause terjadi penurunan massa tulang yang cepat sebesar 5 % per tahun pada tulang trabekular dan 2-3% per tahun pada tulang kortikal. Hal ini disebabkan meningkatnya aktifitas osteoklas. Selanjutnya didominasi oleh osteoblas dan hilangnya massa tulang menjadi 1-2 % atau kurang per tahun. Ada 2 macam osteoporosis, yaitu : osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer dapat terjadi pada tiap kelompok umur. Peningkatan risiko oseteoporosis primer dihubungkan dengan merokok, aktifitas, pubertas tertunda, berat badan rendah, alkohol, ras kulit putih/asia, riwayat keluarga, postur tubuh, dan asupan kalsium yang rendah. Osteoporosis primer memiliki 2 sub tipe, yaitu : tipe I (post manopausal), yang terjadi 15-20 tahun setelah menopause (53-75 tahun). Osteoporosis tipe I ditandai oleh fraktur tulang belakang tipe crush, Colles’ fraktur, dan berkurangnya gigi geligi. Osteoporosis tipe II (tipe senile), terjadi pada pria dan wanita usia ≥70 tahun.Secara klinis ditandai oleh fraktur panggul dan tulang belakang tipe wedge. Osteoporosis sekunder dapat terjadi pada setiap kelompok umur. Penyebabnya meliputi ekses kortikosteroid, hipertirodisme, multipel mieloma, malnutrisi, defisiensi estrogen, hiperparatiroidisme, faktor genetik, dan obat-obatan. Penyebab osteoporosis sekunder yang sering dijumpai adalah efek samping obat-obatan. Pada penderita stroke lebih mudah terjadi osteoporosis pada sisi yang mengalami kelumpuhan. Hal tersebut dikarenakan inaktivitas fisik yang mendorong resorbsi tulang. Diagnosis osteoporosis Sebagai thief in the night--pencuri malam hari, osteoporosis tidak memiliki keluhan spesifik. Keluhan akan dirasakan bila tulang sudah mengalami fraktur (patah tulang) yang akan menyebabkan rasa nyeri, deformitas, serta gangguan fungsi. Anamnesis terperinci tentang faktor risiko yang mungkin dimiliki pasien sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Analisis faktor risiko ini penting untuk menentukan perlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan densitas mineral tulang (BMD) yang merupakan modalitas diagnosis yang utama dalam menegakkan diagnosis. Beberapa faktor yang meningkatkan risiko penurunan densitas tulang dan osteoporosis pada wanita post menopause meliputi peningkatan usia, ras kulit putih, berat badan rendah atau penurunan berat badan yang cepat, tanpa terapi pengganti estrogen, riwayat fraktur sebelumnya, dan riwayat keluarga dengan fraktur. Faktor lain yang memiliki hubungan yang signifikan dengan densitas tulang dan fraktur adalah merokok, penggunaan alkohol, kopi, asupan rendah kalsium dan vitamin D serta pengguna kortikosteroid. Berbagai skor risiko telah dikembangkan untuk meramalkan seseorang menderita osteoporosis atau tidak. Pada umumnya skor ini akan mempertimbangkan faktor usia dan berat badan. Salah satu skor risiko yang sering dipakai adalah Osteoporosis Risk Assessment Instrument. Penilaian langsung densitas tulang untuk mengetahui ada/tidaknya osteoporosis dapat dilakukan secara: Radiologik, Radioisotop, QCT (Quantitative Computerised Tomography), MRI (Magnetic Resonance Imaging), QUS (Quantitative Ultrasound), Densitometer (X-ray absorpmetry). Diantara berbagai modalitas tersebut Dual Energy X-ray Absorpmetry (DEXA) merupakan metode yang paling banyak dipilih. Pemeriksaan DEXA memiliki akurasi yang tinggi, dengan dosis radiasi yang sangat rendah. Alat ini diharapkan akan segera tersedia di RS Bethesda dalam waktu dekat ini. Penilaian osteoporosis secara laboratorik dilakukan dengan melihat petanda biokimia untuk osteoblas, yaitu osteokalsin, prokolagen peptida dan alkali fosfatase total serum. Petanda kimia untuk osteoklas: dioksipiridinolin (D-pyr), piridinolin (Pyr) Tartate Resistant Acid Phosfotase (TRAP), kalsium urin, hidroksisiprolin dan hidroksi glikosida. Secara bioseluler, penilaian biopsi tulang dilakukan secara histopometri dengan menilai aktivitas osteoblas dan osteoklas secara langsung. Namun pemeriksaan di atas biayanya masih mahal. Terapi Osteoporosis bersifat multifaktorial sehingga penanganannya pun sangat kompleks. Terapi untuk osteoporosis difokuskan tidak hanya untuk menghambat resorpsi tulang atau merangsang pembentukan tulang. Tidak kalah penting untuk mengurangi risiko terjatuh. Beberapa penelitian terdahulu memperlihatkan efektivitas penghambat resorpsi tulang yang meliputi estrogen, kalsitonin, bisphosphonate dan kalsium. Osteoporosis sekunder sebaiknya jika memungkinkan diterapi sesuai dengan penyebabnya. Asupan kalsium 1500 mg/hari dan vitamin D 800 IU/hari, aktifitas fisik ≥30 menit minimal 3 kali dalam seminggu, menghindari merokok dan konsumsi alkohol juga telah dibuktikan mampu mencegah osteoporosis. Penutup Osteoporosis merupakan penyakit degeneratif yang mengancam populasi usia lanjut. Osteoporosis tidak memberikan gejala sampai dengan munculnya patah tulang. Kewaspadaan akan faktor risiko osteoporosis mutlak diperlukan. Kehadiran alat DEXA di RS Bethesda sebentar lagi diharapkan akan bermanfaat untuk mendeteksi osteoporosis dalam tahap yang lebih dini. Penanganan yang optimal akan memberikan hasil klinis yang lebih baik pula. source:strokebethesda.com |
0 comments:
Post a Comment