Sebaliknya, mengonsumsi makanan sehat, tetapi tidak kita sukai, juga tidak efektif bagi tubuh.
Kesimpulan itu disampaikan oleh Dr Jules Hirsch, guru besar di Universitas Rockefeller, New York, AS, dan Harriet Brown, seorang editor sebuah antologi tentang anoreksia, berjudul ”Mr Wrong” yang baru akan diterbitkan. Namun, artikel mereka telah dilansir harian AS, the New York Times, akhir Februari lalu.
Setelah hampir menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengkaji masalah diet, Dr Hirsch akhirnya memilih secara acak 49.000 wanita berumur 50-79 tahun. Puluhan ribu wanita itu ia bagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama, harus diet rendah lemak, sedangkan kelompok kedua, bebas makan. Delapan tahun kemudian, kedua kelompok menunjukkan risiko dan potensi yang sama dalam terkena kanker payudara, usus, serangan jantung hingga stroke.
Karena itu, studi yang menghabiskan dana sekitar 415 juta dollar AS itu setuju untuk tidak merekomendasikan bahwa diet rendah lemak akan membebaskan diri dari serangan jantung dan kanker. Rekomendasi itu diperkuat Dr Barbara V Howard, ahli epidemiologi di MedStar Research Institute, sebuah klinik nirlaba di AS yang juga terlibat dalam penelitian tersebut.
Dr Howard menekankan pentingnya menyadari bahwa diet saja tidak cukup. ”Kita tidak akan pernah mampu menghadapi satu penyakit kronis hanya dengan mengubah komposisi diet. Orang biasanya hanya berpikir tentang apa yang mereka makan, tetapi tidak pernah mencoba mengetahui berapa banyak mereka makan, berapa banyak mereka merokok, atau berapa banyak yang akan mengendap,” tegas Dr Howard.
Diakui, studi kasus ini memang cukup rumit. Terutama karena selama beberapa dekade, para ahli dan banyak anggota masyarakat yakin, apa yang kita santap, termasuk komposisi diet, menentukan mungkin tidaknya kita terserang penyakit kronis. Namun, kenyataannya, keyakinan itu sangat sulit dibuktikan.
Penelitian tentang kaitan serat dan kanker usus pada akhirnya gagal membuktikan bahwa serat mampu melindungi usus dari kanker. Lebih parah lagi, penelitian tentang vitamin yang mampu melindungi diri dari kanker pun gagal total.
Buah, sayuran, dan olahraga
Penelitian pada 49.000 wanita itu jelas menunjukkan, mereka yang diet rendah lemak selama delapan tahun tetap terkena kanker payudara, kanker usus, dan serangan jantung.
Jelas para wanita ini tidak bermaksud mengurangi berat badan. Namun, diet rendah lemak membuat berat badan mereka stabil. Karena itu, penelitian ini lebih tepat untuk mengatasi obesitas.
Satu-satunya yang berbeda pada penelitian itu hanyalah tingkat kolesterol jahat atau LDL. Kelompok wanita yang mengonsumsi lemak lebih tinggi memang memiliki jumlah LDL lebih tinggi. Namun, itu tidak menjamin perbedaan tingkat kemungkinan mereka terkena serangan jantung. Lebih penting lagi, terjangkit atau tidaknya penyakit kronis berada di luar kendali manusia. Tergantung pula pada unsur genetika.
Dr Jacques Rossouw, kepala proyek bidang kesehatan wanita, menegaskan, meski penelitian dilakukan pada kaum wanita, hasil penelitian itu bisa diterapkan pada kaum pria.
Pada akhirnya, para ahli medis menekankan pentingnya kembali mengonsumsi makanan sehat. Artinya, meninggalkan makanan yang mengandung lemak jenuh dan beralih ke makanan yang berasal dari biji-bijian, buah, dan sayur. ”Tentu semua itu harus tetap diimbangi dengan olahraga dan terus mengontrol berat badan,” ujar Dr Howard menambahkan.
Makan suka-suka
Lebih ekstrem, Harriet Brown justru meminta berhenti diet, sebaliknya terus makan sesuai kesukaan. Karena, tubuh manusia akan menyerap dengan baik segala unsur dari makanan yang kita sukai.
Sebaliknya, tubuh pun akan menolak kandungan unsur makanan yang tidak kita sukai meski tergolong makanan sehat. ”Meski Anda memaksakan diri memakan sepiring kembang kol setiap hari, hasilnya tetap tidak akan maksimal selama Anda membenci makanan itu,” tegasnya.
Tentu itu bukan isapan jempol belaka. Tahun 1970-an, para peneliti meminta dua kelompok wanita, kelompok wanita Swedia dan wanita Thailand, mengonsumsi makanan Thailand yang kaya rasa. Kelompok wanita Thailand yang jelas lebih menyukai makanannya mampu menyerap besi lebih dari 50 persen dibanding kelompok wanita Swedia. Sebaliknya, ketika kelompok Thailand diberi makanan Swedia yang hambar, kandungan besi yang mereka serap 70 persen lebih sedikit dibanding kelompok Swedia.
Kesimpulannya, makanan yang tidak menggugah selera menjadi tidak lebih tidak bergizi meski terlihat sehat dan menarik. Penjelasannya sederhana. Proses pencernaan berhubungan erat dengan ”otak kedua” atau ”nyali” yang ada di otak manusia. Jika aroma makanan yang tersaji di hadapan kita begitu menggoda, otak akan mendorong kelenjar air liur tancap ”gas” hingga ”gigi empat”. Seiring dengan itu, otak pun memerintahkan perut mengeluarkan getah perut lebih banyak.
Hasilnya, Anda akan menyerap lebih banyak nutrisi. Namun, pada makanan yang tidak disuka, otak hanya mengirim sedikit perintah ke mulut dan perut. Akibatnya, seluruh makanan itu tidak tercerna dengan baik dan tidak seluruhnya masuk dalam sistem metabolisme tubuh. Selamat makan, Bon appetit!
(idionline/Net)
0 comments:
Post a Comment