Download

7 Makanan Lezat Rendah Kalori Untuk Menurunkan Berat Badan

Beberapa Makanan Sehat Lezat tetapi rendah kalori yang bisa dikonsumsi untuk menurunkan berat badan anda..

Kenapa Sarapan Penting Untuk Menurunkan Berat Badan?

Penjelasan singkat tentang arti penting sarapan dalam proses menurunkan berat badan...

5 Tips Agar Tetap Termotivasi dalam Menurunkan Berat Badan

5 Tips sederhana agar kita tetap termotivasi dalam proses menurunkan berat badan...

12 Langkah Awal Menurunkan Berat Badan Anda

12 Panduan sederhana sebagai langkah awal menurunkan berat badan

6.5 Kesalahan Paling Fatal Dalam ber-Diet

Beberapa Kesalahan Fatal yang sering dilakukan oleh orang-orang yang menjalankan program diet...

November 26, 2011

Komplikasi pada penderita stroke


Selama menjalani perawatan di RS, pasien stroke dapat mengalami komplikasi akibat penyakitnya. Komplikasi yang umum terjadi adalah bengkak otak (edema) yang terjadi pada 24 jam sampai 48 jam pertama setelah stroke. Berbagai komplikasi lain yang dapat terjadi adalah sebagai berikut:
  • Kejang. Kejang pada fase awal lebih sering terjadi pada stroke perdarahan. Kejadian kejang umumnya memperberat defisit neurologik
  • Nyeri kepala: walaupun hebat, umumnya tidak menetap. Penatalaksanaan membutuhkan analgetik dan kadang antiemetik
  • Hiccup: penyebabnya adalah kontraksi otot-otot diafragma. Sering terjadi pada stroke batang otak, bila menetap cari penyebab lain seperti uremia dan iritasi diafragma.
  • Selain itu harus diwaspadai adanya:
    • Transformasi hemoragik dari infark
    • Hidrosefalus obstruktif
  • Peninggian tekanan darah. Sering terjadi pada awal kejadian dan turun beberapa hari kemudian.
  • Demam dan infeksi. Demam berhubungan dengan prognosa yang tidak baik. Bila ada infeksi umumnya adalah infeksi paru dan traktus urinarius.
  • Emboli pulmonal. Sering bersifat letal namun dapat tanpa gejala. Selain itu, pasien menderita juga trombosis vena dalam (DVT).
  • Abnormalitas jantung. Disfungsi jantung dapat menjadi penyebab, timbul bersama atau akibat stroke. Sepertiga sampai setengah penderita stroke menderita komplikasi gangguan ritme jantung.
  • Gangguan fungsi menelan, aspirasi dan pneumonia. Dengan fluoroskopi ditemukan 64% penderita stroke menderita gangguan fungsi menelan. Penyebab terjadi pneumonia kemungkinan tumpang tindih dengan keadaan lain seperti imobilitas, hipersekresi dll.
  • Kelainan metabolik dan nutrisi. Keadaan undernutrisi yang berlarut-larut terutama terjadi pada pasien umur lanjut. Keadaan malnutrisi dapat menjadi penyebab menurunnya fungsi neurologis, disfungsi kardiak dan gastrointestinal dan abnormalitas metabolisme tulang.
  • Infeksi traktus urinarius dan inkontinensia. Akibat pemasangan kateter dauer, atau gangguan fungsi kandung kencing atau sfingter uretra eksternum akibat stroke.
  • Perdarahan gastrointestinal. Umumnya terjadi pada 3% kasus stroke. Dapat merupakan komplikasi pemberian kortikosteroid pada pasien stroke. Dianjurkan untuk memberikan antagonis H2 pada pasien stroke ini.
  • Dehidrasi. Penyebabnya dapat gangguan menelan, imobilitas, gangguan komunikasi dll.
  • Hiponatremi. Mungkin karena kehilangan garam yang berlebihan.
  • Hiperglikemia. Pada 50% penderita tidak berhubungan dengan adanya diabetes melitus sebelumnya. Umumnya berhubungan dengan prognosa yang tidak baik.
  • Hipoglikemia. Dapat karena kurangnya intake makanan dan obat-obatan.

source:strokebethesda.com
peluang usaha

November 25, 2011

Hubungan OSA dan stroke


Gangguan tidur adalah hal yang umum terjadi. Gangguan tidur yang sering dijumpai adalah insomnia (sulit untuk jatuh tertidur), hypersomnia (sangat mudah jatuh tertidur), atau parasomnia (mimpi buruk). Ada satu lagi gangguan tidur yang berkaitan dengan pola nafas, yang disebut sebagai sleep disorder breathing (SDB). Sleep disorder breathing (SDB) yang umum dijumpai adalah obstructive sleep apnea. Obstructive sleep apnea adalah suatu bentuk gangguan tidur yang terkait dengan penghentian nafas selama 10 detik. Sleep Apnea adalah berhentinya bernafas saat tidur lebih dari sepuluh detik karena tertutupnya saluran pernafasan. Akibat turunnya lidah dan pengenduran dari otot serta jaringan lunak saluran pernafasan. Beberapa penelitian baru menunjukkan adanya hubungan stroke dan obstructive sleep apnea.

Gangguan bernafas saat tidur
Ada 2 macam pola gangguan nafas saat tidur, yaitu : Hypoapnea dan Apnea. Hypoapnea ditandai oleh penyempitan saluran pernafasan 50%-80% selama lebih dari 10 detik dan terjadi penurunan saturasi oksigen >3%. Sementara apnea tidur ditandai oleh penyempitan saluran pernafasan >80% selama lebih dari 10 detik dan terjadi penurunan saturasi oksigen >3%.

Adapun Tidur Apnea terbagi menjadi : apnea tidur obstruktif dan apnea tidur sentral. Apnea Tidur Obstruktif/ Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan tipe apnea tidur yang paling umum. Terjadi ketika saluran udara tertutup namun ada usaha untuk bernafas. Hal ini diakibatkan oleh rileksnya otot saluran udara bagian atas, turunnya jaringan lunak dan tertariknya lidah karena pengaruh gravitasi. Apnea Tidur Sentral / Central Sleep Apnea (CSA)  terjadi pada 5-10% dari populasi penderita apnea. Terjadi ketika berhenti bernafas dan tidak ada usaha untuk bernafas. CSA berhubungan dengan gangguan pada otak. CSA sering terjadi pada pasien gagal jantung, penyakit saraf khususnya stroke.

Tertutupnya saluran pernafasan atas lebih dari 10 detik. Hal ini mengakibatkan terjadinya desaturasi oksigen, melambatnya detak jantung. Pada saat diakhir periode apnea terjadi arousal ( tarikan nafas panjang/ tersedak, hal ini meningkatkan laju detak jantung, level oksigen normal, terbukanya kembali saluran pernafasan. Apnea bisa terjadi ratusan kali dalam satu malam dan kadang-kadang tanpa disadari oleh penderitanya, namun disadari oleh pasangan tidurnya.


OSA dan stroke

Gangguan tidur obstruktif merupakan salah satu bentuk faktor risiko stroke yang baru. Kajian terkini Drager (2007) menunjukkan ada peningkatan risiko stroke sebesar 2,52 kali pada penderita apnea tidur. Hal ini juga berkaitan dengan peningkatan risiko hipertensi pada penderita OSA.

OSA sering ditemukan pada penderita stroke yang berhasil hidup, sebanyak 63% dari mereka yang bertahan hidup, mengalami gangguan ini. Bukti semakin banyak yang telah menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara apnea tidur dan stroke.
 
Kelelahan yang berlebihan disiang hari berhubungan dengan apnea tidur dapat mempengaruhi hasil pemulihan pasca stroke. Kelelahan yang berlebihan disiang hari bisa menurunkan kemampuan dan motivasi penderita stroke untuk terus menjalankan program pemulihan. Sebagai akibatnya, latihan untuk pemulihan tidak dilakukan dengan teratur, terhambatnya pemulihan dan hasilnya akan menjadi lebih memburuk.
 

Bagaimana penanganannya ?

Diagnosis gangguan tidur ditegakkan di fasilitas Overnight Laboratory Based Treatment Sleep Study (Complete Polysomnography). Fasilitas ini akan segera tersedia di RS Bethesda Yogyakarta. Tim medis akan merumuskan tindakan tatalaksana sesuai derajat gangguan tidur, pilihan pasien, status kesehatan secara keseluruhan, dan harapan pasien.


source:strokebethesda.com

November 24, 2011

Hubungan Stroke dan Osteoporosis


Perbaikan status kesehatan dan kemajuan teknologi kedokteran akan meningkatkan usia harapan hidup masyarakat. Peningkatan tersebut akan diiringi pula peningkatan prevalensi penyakit-penyakit degeneratif. Salah satu penyakt degeneratif yang mengancam populasi usia lanjut adalah osteoporosis. Pada usia post menopause, 1 diantara 3 wanita menderita osteoporosis. Pada laki-laki insidensinya lebih kecil, yaitu 1 diantara 7 laki-laki usia diatas 50 tahun. Penelitian Departemen Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi osteoporosis adalah 19,7%.

Kelompok kerja World Health Organisation (WHO) mendefinisikan osteoporosis sebagai penyakit yang ditandai dengan rendahnya massa tulang dan memburuknya mikrostruktural jaringan tulang, menyebabkan kerapuhan tulang sehingga meningkatkan risiko terjadinya fraktur (patah tulang). Osteoporosis tidak memberikan keluhan klinis, kecuali apabila telah terjadi fraktur. Kondisi tersebut menyebabkan osteoporosis dijuluki penyakit yang mencuri diam-diam (thief in the night).

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik. Fraktur osteoporosis dapat terjadi pada setiap tempat. Fraktur yang berhubungan dengan osteoporosis paling sering dijumpai pada tulang belakang regio thorakal dan lumbal, radius distal dan femur proksimal. Interaksi antara geometri tulang dan dinamika terjatuh atau kecelakaan (trauma), dan keadaan lingkungan sekitar merupakan faktor penting yang menyebabkan fraktur (patah tulang). Apa hubungan stroke dan osteoporosis?

Mengapa terjadi osteoporosis ?
Massa tulang yang normal merupakan bentuk keseimbangan antara formasi dan resorbsi tulang. Keseimbangan ini dilaksanakan oleh osteoblas dan osteoklas pada unit remodeling tulang. Remodeling dibutuhkan untuk menjaga kekuatan tulang. Osteoblas bertanggungjawab untuk formasi tulang, dan osteoklas berperan pada resorbsi tulang.

Osteoblas dan osteoklas dikendalikan oleh hormon sistemik dan sitokin seperti faktor lokal lain (growth factor, protaglandin dan leukotrien, PTH, kalsitonin, estrogen dan 1,25-dihydrocyvitamin D3 [1,25-(OH)D3]) yang sangat kompleks. Sintesis kolagen tulang diperantarai oleh osteoblas.

Defisiensi estrogen (pada menopause) menyebabkan penurunan massa tulang secara signifikan. Defisiensi estrogen dipikirkan mempengaruhi level sirkulasi sitokin spesifik seperti IL-1, tumor necross faktor, koloni granulosit—makrofag stimulating factor dan IL-6. Berbagai sitokin ini meningkatkan resorpsi tulang melalui peningkatan recruitment, diferensiasi dan aktifasi sel osteoklas.

Pada beberapa tahun pertama pasca menopause terjadi penurunan massa tulang yang cepat sebesar 5 % per tahun pada tulang trabekular dan 2-3% per tahun pada tulang kortikal. Hal ini disebabkan meningkatnya aktifitas osteoklas. Selanjutnya didominasi oleh osteoblas dan hilangnya massa tulang menjadi 1-2 % atau kurang per tahun.

Ada 2 macam osteoporosis, yaitu : osteoporosis primer dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer dapat terjadi pada tiap kelompok umur. Peningkatan risiko oseteoporosis primer dihubungkan dengan merokok, aktifitas, pubertas tertunda, berat badan rendah, alkohol, ras kulit putih/asia, riwayat keluarga, postur tubuh, dan asupan kalsium yang rendah.
 
Osteoporosis primer memiliki 2 sub tipe, yaitu : tipe I (post manopausal), yang terjadi 15-20 tahun setelah menopause (53-75 tahun). Osteoporosis tipe I ditandai oleh fraktur tulang belakang tipe crush, Colles’ fraktur, dan berkurangnya gigi geligi. Osteoporosis tipe II (tipe senile), terjadi pada pria dan wanita usia ≥70 tahun.Secara klinis ditandai oleh fraktur panggul dan tulang belakang tipe wedge. Osteoporosis sekunder dapat terjadi pada setiap kelompok umur. Penyebabnya meliputi ekses kortikosteroid, hipertirodisme, multipel mieloma, malnutrisi, defisiensi estrogen, hiperparatiroidisme, faktor genetik, dan obat-obatan. Penyebab osteoporosis sekunder yang sering dijumpai adalah efek samping obat-obatan.
Pada penderita stroke lebih mudah terjadi osteoporosis pada sisi yang mengalami kelumpuhan. Hal tersebut dikarenakan inaktivitas fisik yang mendorong resorbsi tulang.


Diagnosis osteoporosis

Sebagai thief in the night--pencuri malam hari, osteoporosis tidak memiliki keluhan spesifik. Keluhan akan dirasakan bila tulang sudah mengalami fraktur (patah tulang) yang akan menyebabkan rasa nyeri, deformitas, serta gangguan fungsi. Anamnesis terperinci tentang faktor risiko yang mungkin dimiliki pasien sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Analisis faktor risiko ini penting untuk menentukan perlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan densitas mineral tulang (BMD) yang merupakan modalitas diagnosis yang utama dalam menegakkan diagnosis.
 
Beberapa faktor yang meningkatkan risiko penurunan densitas tulang dan osteoporosis pada wanita post menopause meliputi peningkatan usia, ras kulit putih, berat badan rendah atau penurunan berat badan yang cepat, tanpa terapi pengganti estrogen, riwayat fraktur sebelumnya, dan riwayat keluarga dengan fraktur. Faktor lain yang memiliki hubungan yang signifikan dengan densitas tulang dan fraktur adalah merokok, penggunaan alkohol, kopi, asupan rendah kalsium dan vitamin D serta pengguna kortikosteroid.

Berbagai skor risiko telah dikembangkan untuk meramalkan seseorang menderita osteoporosis atau tidak. Pada umumnya skor ini akan mempertimbangkan faktor usia dan berat badan. Salah satu skor risiko yang sering dipakai adalah Osteoporosis Risk Assessment Instrument. Penilaian langsung densitas tulang untuk mengetahui ada/tidaknya osteoporosis dapat dilakukan secara: Radiologik, Radioisotop, QCT (Quantitative Computerised Tomography), MRI (Magnetic Resonance Imaging), QUS (Quantitative Ultrasound), Densitometer (X-ray absorpmetry). Diantara berbagai modalitas tersebut Dual Energy X-ray Absorpmetry (DEXA) merupakan metode yang paling banyak dipilih. Pemeriksaan DEXA memiliki akurasi yang tinggi, dengan dosis radiasi yang sangat rendah. Alat ini diharapkan akan segera tersedia di RS Bethesda dalam waktu dekat ini.

Penilaian osteoporosis secara laboratorik dilakukan dengan melihat petanda biokimia untuk osteoblas, yaitu osteokalsin, prokolagen peptida dan alkali fosfatase total serum. Petanda kimia untuk osteoklas: dioksipiridinolin (D-pyr), piridinolin (Pyr) Tartate Resistant Acid Phosfotase (TRAP), kalsium urin, hidroksisiprolin dan hidroksi glikosida. Secara bioseluler, penilaian biopsi tulang dilakukan secara histopometri dengan menilai aktivitas osteoblas dan osteoklas secara langsung. Namun pemeriksaan di atas biayanya masih mahal.

Terapi
Osteoporosis bersifat multifaktorial sehingga penanganannya pun sangat kompleks. Terapi untuk osteoporosis difokuskan tidak hanya untuk menghambat resorpsi tulang atau merangsang pembentukan tulang. Tidak kalah penting untuk mengurangi risiko terjatuh.

Beberapa penelitian terdahulu memperlihatkan efektivitas penghambat resorpsi tulang yang meliputi estrogen, kalsitonin, bisphosphonate dan kalsium. Osteoporosis sekunder sebaiknya jika memungkinkan diterapi sesuai dengan penyebabnya. Asupan kalsium 1500 mg/hari dan vitamin D 800 IU/hari, aktifitas fisik ≥30 menit minimal 3 kali dalam seminggu, menghindari merokok dan konsumsi alkohol juga telah dibuktikan mampu mencegah osteoporosis.

Penutup
Osteoporosis merupakan penyakit degeneratif yang mengancam populasi usia lanjut. Osteoporosis tidak memberikan gejala sampai dengan munculnya patah tulang. Kewaspadaan akan faktor risiko osteoporosis mutlak diperlukan. Kehadiran alat DEXA di RS Bethesda sebentar lagi diharapkan akan bermanfaat untuk mendeteksi osteoporosis dalam tahap yang lebih dini. Penanganan yang optimal akan memberikan hasil klinis yang lebih baik pula.

source:strokebethesda.com

November 23, 2011

Hubungan Merokok dan Stroke


Merokok secara konsisten terbukti meningkatkan risiko stroke. Penghentian rokok merupakan bagian dari pencegahan stroke primer dan sekunder. Masalah yang muncul adalah menghentikan kebiasaan merokok bukanlah hal yang mudah. Simak kasus berikut: Bapak S (38 tahun) berusaha berhenti merokok sejak 2 minggu terakhir ini. Keinginan untuk berhenti merokok didasarkan pada harapan untuk tetap hidup sehat. Bapak S trauma setelah melihat seorang koleganya yang perokok berat meninggal akibat kanker paru-paru. Pada 2 hari pertama berhenti merokok, bapak S sanggup menjalaninya dengan baik. Masalah muncul pada hari ketiga, bapak S mulai mengeluh pusing, susah konsentrasi, merasa tidak enak badan, dan memiliki keinginan merokok yang sangat kuat.

Keluhan bapak S diceritakan kepada dokter yang merawatnya. Gejala yang diceritakan oleh bapak S merupakan keluhan yang umum pada orang yang mulai berhenti merokok. Gejala ini disebut dengan gejala putus nikotin. Nikotin yang terkandung dalam rokok akan menimbulkan rasa nyaman bagi perokok. Bila asupan nikotin dihentikan, maka akan muncul rasa tidak nyaman. Hal inilah yang mendasari munculnya ketagihan merokok.

Bahaya merokok
Rokok mengandung kurang lebih 4000 zat, dan setidaknya 200 diantaranya dinyatakan berbahaya. Racun utama yang terkandung di dalam rokok adalah tar, nikotin, dan karbon monoksida. Tar adalah substansia hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru. Nikotin merupakan zat adiktif yang mempengaruhi saraf dan peredaran darah. Karbon monoksida adalah zat yang mengikat hemoglobin dalam darah, membuat darah tidak mampu mengikat oksigen.

Berbagai penelitian di bidang kesehatan telah membuktikan bahaya rokok bagi kesehatan. Rokok meningkatkan risiko kanker paru-paru dan mulut sebnayak 14 kali lipat. Rokok meningkatkan pula risiko terkena penyakit jantung dan stroke sebesar 2 kali lipat. Risiko ini dialami secara hampir sama antara perokok aktif dan perokok pasif. Tidak ada batas yang aman bagi oang yang merokok, dan terpapar oleh asap rokok. Pertanyaan kritis yang muncul adalah “mengapa orang masih tetap merokok?”, “mengapa peringatan pemerintah di bungkus rokok tidak efektif untuk menurunkan jumlah perokok?”

Ketagihan rokok
Penulis yakin bahwa lebih dari 95% perokok tahu bahaya merokok. Bahaya merokok telah secara masif dikampanyekan di berbagai media. Pertanyaan yang muncul adalah “mengapa orang masih tetap merokok?”. Beberapa penelitian terakhir mengkonfirmasi bahwa nikotin bertanggung jawab pada efek ketagihan akibat rokok.

Nikotin sebagai suatu zat yang ada di dalam rokok memiliki efek untuk membuat ketagihan bagi sang perokok. Efek ketagihan diperantarai oleh dopamin dalam otak. Dopamin merupakan zat di dalam otak yang terpacu keluar akibat paparan nikotin. Pada keadaan normal dopamin berfungsi untuk gerakan otot, proses memori, dan emosi. Nikotin yang terhisap akan diteruskan kedalam otak, dan berikatan denga reseptor 42. Ikatan ini akan memacu pengeluaran dopamin di otak. Dopamin akan memberikan rasa nyaman, tenang bagi orang yang menghisap rokok. Bila ikatan nikotin dan reseptor telah menurun, maka kadar dopamin akan menurun pula. Hal tersebut akan menyebabkan orang tergerak kembali untuk merokok.

Dermikianlah orang menjadi ketagihan untuk terus merokok. Bila kadar nikotin menurun, maka pacuan dopamin akan menurun pula. Hal tersebut menyebabkan seseorang mengalami craving (suatu kondisi pusing, gangguan konsentrasi, dan mood yang buruk). Penurunan kadar dopamin menyebabkan pula berkurangnya reward (suatu kondisi rasa nyaman akibat merokok). Kedua hal tersebut diatas menyebabkan seseoarang menjadi sangat sukar untuk berhenti merokok. Seoarng perokok akan mudah terjebak untuk merokok kembali.


Tips berhenti merokok

Langkah pertama untuk berhenti merokok adalah dengan membangun komitmen. Bila perlu carilah motivasi atau inspirasi yang tepat untuk berhenti merokok. Seorang calon ayah dapat berhenti merokok karena termotivasi untuk memberikan lingkungan yang sehat bagi istri dan calon bayinya. Motivasi dan inspirasi yang tepat akan selalu menjadi pengingat bila si perokok hampir terjerumus untuk merokok kembali.
Langkah berikutnya adalah dengan meminta dukungan pada lingkungan sekitar untuk program berhenti merokok. Seseorang akan sulit untuk berhenti mrokok bila lingkungan sekitarnya tetap penuh dengan rokok. Setelah yakin dengan program berhenti merokok, maka si perokok harus menetapkan tanggal kapan ia akan mulai berhenti merokok. Langkah tersebut harus diikuti dengan kegiatan-kegiatan lain yang mendukung (misalnya: berolahraga), dan menyingkirkan segala sesuatu yang berhubungan dengan rokok (misalnya: asbak).

Diantara berbagai langkah tersebut, komitmen dan motivasi merupakan hal yang sangat penting. Banyak cerita sukses berhenti merokok yang dilandasi oleh komitmen dan motivasi yang kuat. Pada beberapa kasus, efek craving (perasaan tidak enak, mood yang buruk, dan konsentrasi yang buruk) sedemikian kuatnya bagi sang perokok. Penelitian terbaru menemukan sebuah obat yang dapat membantu mengurangi efek craving ini.
 

Harapan baru bagi perokok

Efek yang tidak menyenangkan diawal berhenti merokok dapat dikurangi dengan suatu obat baru yang disebut Varenicline Tartrate . Obat ini akan membantu mengurangi efek craving. Obat yang dipasarkan dengan merk dagang Champix ini telah tersedia di Indonesia. Varenicline akan berikatan pada reseptor dopamin untuk mengurangi efek penurunan dopamin di otak yang bersifat mendadak.

Rokok adalah hal yang berbahaya. Bahaya rokok tidak saja mengenai orang yang merokok, namun orang lain disekitar perokok (sebagai perokok pasif). Banyak penelitian secara konsisten menghubungkan rokok dengan berbagai penyaki. “Stop Rokok” merupakan semboyan yang harus selalu diingat, “mencegah lebih baik daripada mengobati”.

source:strokebethesda.com

November 22, 2011

Hubungan Obesitas dan Stroke


Obesitas berasal dari bahasa latin yang mempunayi arti makan berlebihan. Saat ini obesitas atau gemuk didefinisikan sebagai suatu kelainan atau penyakit yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan. Pada umumnya obesitas terjadi karena makan berlebih (over-eating) yang tidak dibarengi oleh aktivitas fisik yang sesuai dengan asupan makanan. 

Obesitas dapat didefinisikan secara absolut ataupun relatif. Dalam praktek sehari-hari obesitas sering didefiinisikan secara absolut dengan mengukur indeks massa tubuh. Indeks massa tubuh diukur dengan membagi berat badan (dalam kilogram), dengan tinggi badan (dalam meter) kuadrat. Indeks massa tubuh diatas 25 disebut dengan berat badan berlebih, dan diatas 30 disebut dengan obesitas. Bayangkan seseorang memiliki berat badan 100 kg dengan tinggi badan 200 cm, maka ia memiliki indeks massa tubuh adalah 100/ (2)2 yaitu 25. Prevalensi obesitas terus meningkat dalam 20 tahun terakhir ini.



Fenomena peningkatan kasus obesitas tidak saja teramati di berbagai negara maju, namun juga di negara berkembang. Data National Center for Health Statistics (NCHS) menunjukkan bahwa hampir 1 dari 5 anak di Amerika Serikat mengalami kelebihan berat badan. Di Indoensia, survei sosial ekonomi nasional (SUSENAS) memperlihatkan bahwa prevalensi obesitas adalah 6,3% pada laki-laki, dan 8% pada perempuan. 

Obesitas seringkali dikaitkan dengan berbagai penyakit. Obesitas dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke sampai 2 kali lipat. Demikian pula obesitas dikaitkan dengan hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, osteoarthritis, dan depresi. Obesitas juga seringkali dikaitkan dengan berbagai masalah psikososial. Penelitian menunjukkan bahwa masalah psikologis (kecemasan dan depresi) seringkali dijumpai pada pasien dengan obesitas .


Gangguan psikologis pada obesitas dapat muncul karena 2 faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal muncul dari diri orang obese yang memiliki anggapan bahwa dirinya kurang menarik. Faktor eksternal berasal dari lingkungan, yang memberi stigma buruk pada penderitanya. Ejekan “gendut” seringkali terdengar untuk menyebut seorang anak yang mengalami obesiatas. 


Beban ekonomi yang muncul akibat obesitas merupakan penjumlahan biaya langsung (direct cost), biaya tidak langsung (indirect cost), dan biaya akibat hilangnya kesempatan (oppourtunity cost). Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa ada 39,3 hari kerja yang hilang pertahunnya akibat penyakit terkait dengan kegemukan. Sebanyak 16% dari perusahaan di Amerika Serikat menolak untuk mempekerjakan orang dengan obesitas. Di Indonesia, total pembiayaan langsung untuk penyakit obesitas adalah 278 miliar rupiah, atau sebesar 2% dari total pengeluaran kesehatan nasional.


Peningkatan obesitas dari tahun ke tahun ditengarai sebagai akibat dari perubahan gaya hidup. Perubahan pasar modern telah memacu perubahan gaya hidup. Hal ini diperkuat dengan berbagai penelitian yang ditampilkan dalam sesi poster. Penelitian Setyaningrum (2007) memperlihatkan bahwa 43,4% responden remaja usia pubertas sering mengkonsumsi makanan siap saji. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara konsumsi makanan cepat saji dengan kejadian obesitas. Hal ini diperkuat dengan penelitian Kadim, dkk (2007) yang menunjukkan bahwa kosumsi camilan dan makanan kecil lain secara berlebih merupakan faktor yang berperan untuk terjadinya obesitas pada anak. 


Ungkapan “the big is beautiful” mungkin tidak salah, namun obesitas memiliki dampak yang besar bagi kesehatan (baik fisik dan psikososial). Sama seperti penyakit lainnya, maka penanganan obsitas juga mengandung prinsip “mencegah lebih baik daripada mengobati.



source:strokebethesda.com

November 21, 2011

Hubungan Kolesterol dan Stroke


Stroke dapat terjadi karena seseorang individu yang sehat memiliki faktor risiko stroke. Faktor risiko stroke ada yang dapat dikendalikan dan ada pula yang tidak dapat dikendalikan. Faktor risiko stroke yang tidak dapat dikendalikan adalah usia, jenis kelamin, ras, riwayat keluarga, dan riwayat stroke sebelumnya. Kelompok usia lanjut dan laki-laki lebih mudah terkena stroke, demikian pula seseorang dengan riwayat keluarga stroke. 


Faktor risiko stroke yang dapat dikendalikan adalah hipertensi, diabetes, merokok, kolesterol darah yang tinggi, trigliserida darah yang tinggi, obesitas, dsb. Pemahaman akan faktor risiko stroke yang dapat dikendalikan ini penting. Pengendalian faktor risiko stroke ini akan menurunkan risiko seseorang untuk terkena stroke. Tekanan darah yang terkendali dibawah 130/80 mmHg akan menurunkan risiko seseorang untuk terkena stroke. Berhenti merokok akan menurunkan pula risiko terkena stroke. Kolesterol yang tinggi juga merupakan faktor risiko untuk terkena stroke. Pertanyaan kritis yang muncul adalah “bagaimana hubungan antara kolesterol darah yang tinggi dan stroke?”, dan “bagaimana upaya pengendalian kolesterol untuk mencegah stroke?”



Mengenal kolesterol
Kolesterol merupakan substansi lemak, yang secara normal dibentuk di dalam tubuh. Kolesterol dibentuk di hati dari lemak makanan. Kolesterol memainkan banyak peran penting dalam fungsi sel tubuh (antara lain produksi hormon). Kolesterol darah dapat dibagi menjadi 2 bagian utama: kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) yang dikenal sebagai “kolesterol jahat” dan kolesterol HDL (High Density Lipoprotein) yang dikenal sebagai “kolesterol baik”. LDL membawa kolesterol dari hati ke sel, dan HDL berperan membawa kolesterol dari sel ke hati. 
Kadar kolesterol LDL yang tinggi akan memicu penimbunan kolesterol di sel, yang menyebabkan munculnya atherosclerosis (pengerasan dinding pembuluh darah arteri) dan penimbunan plak di dinding pembuluh darah. Hal ini dihubungkan dengan penngkatan risiko penyakit akibat gangguan pembuluh darah (misalnya: penyakit jantung koroner, stroke, gangguan pembuluh darah terpi). 



Kadar kolesterol darah yang tinggi dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor-faktor penyebab kadar kolesterol yang tinggi adalah genetic, diet tinggi lemak, kelebihan berat badan, kurangnya aktivitas fisik, dan merokok. Merokok meningkatkan kadar kolesterol LDL dan menurunkan kadar kolesterol HDL. Kadar kolesterol LDL yang tinggi dapat pula disebabkan oleh konsumsi alkohol atau obat-obatan (misalnya: steroid atau pil kontrasepsi). 

Hubungan kolesterol dan stroke
Kolesterol merupakan faktor risiko stroke yang secara konsisten dilaporkan dari berbagai hasil penelitian. Kolesterol LDL yang tinggi, kolesterol HDL yang rendah, dan rasio kolesterol LDL dan HDL yang tinggi dihubungkan dengan peningkatan risiko terkena stroke. Hal ini akan diperkuat bila ada faktor risiko stroke yang lain (misalnya: hipertensi, merokok, obesitas). 



Hubungan antara kolesterol dan stroke tergambarkan pula dalam berbagai penelitian terapi kolesterol. Keberhasilan terapi penurunan kadar kolesterol darah akan menurunkan risiko stroke dan penyakit jantung sebesar 60%. Penurunan kadar koleserol darah akan menghambat proses atherosclerosis (pengerasan diniding pembuluh darah arteri). Perkembangan atherosclerosis dapat dihambat pada sebagian besar pasien yang menjalani terapi selama 2 tahun. Kadar kolesterol darah yang tidak terkendali akan meningkatkan risiko stroke. Pasien berusia 40 tahun-an yang memiliki kadar kolesterol LDL tinggi akan memiliki risiko sebesar 52% untuk mengalami serangan jantung dan stroke pada usia diatas 50 tahun (Lang, 2005). 



Kadar kolesterol darah yang tinggi tidak memberikan gejla yang spesifik. Hal ini menyebabkan kadar kolesterol darah yang tinggi juga dijuluki sebagai “the silent killer”. Pasien datang berobat ketika telah muncul komplikasi pembuluh darah. Proses atherosclerosis tetap berjalan tanpa ada keluhan pasien. 

Pengendalian kadar kolesterol
Pengendalian kadar kolesterol menuju angka yang normal akan sangat bermanfaat untuk menurunkan risiko stroke dan penyakit jantung. Target penurunan kadar kolesterol adalah sebagai berikut: (1) kadar kolesterol darah total dibawah 200 mg/dl, (2) kadar kolesterol darah LDL dibawah 130 mg/dl (pada individu tanpa riwayat penyakit jantung koroner), atau dibawah 100 mg/dl (bila pernah terkena penyakit jantung, merokok, menderita hipertensi, diabetes). (3) kadar kolesterol HDL diatas 35 mg/dl, dan (4) kadar trigliserida dibawah 250 mg/dl. 



Pengendalian kadar kolesterol darah sesuai target dicapai dengan perubahan pola hidup dan terapi obat. Perubahan pola hidup yang dianjurkan meliputi penurunan berat badan, banyak makan serat, konsumsi buah dan sayuran, berhenti merokok, olah raga, dan pembatasan konsumsi lemak berlebih. Bila target penurunan kolesterol darah belum juga tercapai, pasien dapat berkonsultasi ke dokter untuk memperoleh teapi obat.Terapi obat yang direkomendasikan untuk menurunkan kadar kolesterol daah adalah statin. Obat ini memiliki banyak golongan (misalnya: Pravastatin, Simvastatin, Lovastatin, Atorvastatin, Cerevastatin, Fluvastatin), dan sebagian besar telah tersedia di Indonesia. 



Keberhasilan terapi statin untuk menurunkan risiko stroke telah dibuktikan dari berbagai penelitian. Penurunan kadar kolesterol darah sesuai target (dibawah 200 mg/dl) akan menurunkan risiko stroke ebesar 27%. Bagi pasien yang sudah pernah mengalami penyakit jantung, maka penurunan kadar kolesterol darah akan menurunkan risiko stroke sebesar 32%. Banyak diantara kita yang belum tahu kadar kolesterol darahnya. Kadar kolesterol darah yang tinggi sering tidak bergejala. Pertanyaan yang muncul adalah “sudahkah anda tahu kadar kolesterol darah anda?”. Penngendalian kadar kolesterol merupakan upaya pencegahan stroke yang efektif. Ingatlah selalu bahwa “mencegah lebih baik daripada mengobati”. 


source:strokebethesda.com



November 20, 2011

Inaktivitas fisik dan Stroke



Inaktivitas fisik dan StrokeKurang olahraga merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya stroke dan penyakit jantung. Olahraga secara cukup (jalan cepat, berkebun, berenang, erobik dsb) rata-rata 30 menit / hari dapat menurunkan risiko stroke. Olahraga dapat mengendalikan obesitas dan diabetes melitus, meningkatkan kadar kolesterol HDL, dan pada sekelompok individu dapat menurunkan tekanan darah. Inaktivitas fisik lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki, orang kulit hitam daripada kulit putih, individu senior daripada dewasa muda, dan pada kelompok masyarakat dengan status sosio-ekonomi yang rendah.

Hubungan antara aktivitas fisik dan stroke telah diteliti secara longitudinal, dan dilaporkan 38 tahun silam. Alumni Universitas Harvard yang aktif sebagai atlet pada saat kuliah mempunyai risiko stroke fatal sebesar kurang dari setengahnya risiko para alumni yang tidak aktif sebagai atlet ketika masih kuliah. Kelompok terakhir ini cenderung menjadi perokok berat dan peminum alkohol; dengan demikian ketidakaktifan itu sendiri tampaknya mempunyai kaitan dengan faktor risiko stroke yang lain ialah merokok dan minum alkohol secara berlebihan.

Data lain menunjukkan bahwa aktivitas fisik di masyarakat industri maju adalah rendah. Di Inggris hanya kurang dari seperempat warganya yang mempunyai program erobik 30 menit secara teratur (misalnya jalan cepat lebih dari 5 kali setiap minggu). Perilaku seperti ini dapat diubah atau diperbaiki dengan cara pendidikan olahraga yang lebih terarah di setiap jenjang sekolah, aktivitas rekreasional (di taman atau area terbuka lainnya), dan penyedian jalur lambat khusus untuk pengendara sepeda. Olahraga erobik secara teratur berpengaruh positif terhadap pencegahan stroke melalui mekanisme pengendalian berat badan, tekanan darah, dan kadar kolesterol dalam darah.

source:strokebethesda.com
 

Artikel Menarik Lainnya...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More